Submitted by admin on 11/02/2011 – 9:10 PMNo Comment
Nawa Tunggal
Jumat, 11 Februari 2011
Jumat, 11 Februari 2011
Bagaimana memanfaatkan lahan pertanian
yang tertutup abu vulkanik pascaletusan Gunung Merapi 2010 lalu?
Pertanyaan ini menjadi tantangan bagi I Made Sudiana, ahli mikrobiologi
dari Pusat Penelitian Biologi LIPI. Apalagi, dari kajian sosial rekan
sejawatnya, direkomendasikan agar tidak gegabah melakukan relokasi
penduduk.
Jika itu rekomendasinya, masyarakat
sekitar Merapi harus didukung teknologi agar bisa bertahan hidup bersama
ancaman bencana Merapi,” kata Sudiana, Senin (7/2) di Cibinong Science
Center Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Jawa Barat.
Langkah yang ia ambil salah satunya
dengan mengembangkan teknologi isolasi (pemisahan) dan pengembangbiakan
mikroba tanah Merapi pascaerupsi. ”Ini supaya mempercepat pemulihan
pertanian pada lahan yang masih tertutup abu dan pasir material
vulkanik,” kata Sudiana.
Karena itu, Sudiana mengambil ratusan
sampel tanah di lokasi yang berjarak 5 kilometer sampai 20 kilometer
dari puncak Merapi pada 16 Desember 2010. Lokasi sampel yang mendekati
puncak Merapi ada di beberapa desa termasuk Kinahrejo yang berbatasan
dengan Taman Nasional Gunung Merapi di Kecamatan Cangkringan, Sleman.
Lokasi sampel terjauh diambil di Desa
Ngablak, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang. Sudiana lalu membawa
sampel-sampel tanah itu ke laboratoriumnya di Cibinong.
Dalam beberapa hari, ia berhasil
mengisolasi lima komunitas mikroba tanah Merapi dengan mengetahui
karakter sebagai penghasil hormon tumbuh, pelarut fosfat terikat,
penambat nitrogen, dan penghancur senyawa rekalsitran yang bersifat
racun.
Sampel tanah yang banyak mengandung
mikroba biasanya diambil dari lokasi yang sudah ditumbuhi kembali
tanaman. Beberapa jenis tanaman perintis yang tumbuh pertama kali di
Merapi pascaerupsi, antara lain, umbi-umbian seperti talas juga pisang
dan rumput gajah.
Fermentor
Setelah mikroba berhasil diisolasikan,
Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI Suprapedi
bersama timnya melanjutkan pembiakannya. Suprapedi membuat enam tabung
pengembang biak mikroba atau fermentor dengan kapasitas masing-masing
tabung 20 liter.
”Pembiakan selama empat hari setiap
tabung kapasitas 20 liter itu menghasilkan mikroba yang akan dicampurkan
ke dalam 2.000 liter air. Larutan tersebut siap dicampurkan ke media
tanam dengan cara penyemprotan,” kata Suprapedi.
Media tanam dikemas di dalam polibag
supaya unsur hara dan mikrobanya tidak mudah terlarut air hujan. Cara
ini juga menghemat air.
Komposisi media tanam itu meliputi 2
kilogram material vulkanik (berupa abu dan pasir) ditambah 1,5 kilogram
tanah dan 1,5 kilogram kompos. Kemudian ditambahkan 25 gram pupuk
organik butiran atau granula dan disemprotkan 10 mililiter larutan
mikroba tadi.
Larutan mikroba itu mengandung 10(10 pangkat 10) mikroba setiap militernya.
Mikroba memiliki unsur utama protein
yang selalu membutuhkan unsur karbon untuk hidup. Media tanamnya mutlak
dibutuhkan kompos dari bahan-bahan organik.
Selanjutnya, hidup mikroba dengan karakter masing-masing berfungsi menyuburkan tanah.
Usaha kecil
Suprapedi mengatakan, fermentor
dirancang untuk mudah diaplikasikan kelompok usaha kecil. Tabung
fermentor itu dari tabung penyimpan susu perah yang terbuat dari baja
antikarat.
Kemudian disusun rangkaian elektronik
yang berfungsi mengaduk cairan mikroba di dalam tabung fermentor.
Sistem pengadukan menggunakan cara magnetis.
”Dengan satu tabung fermentor, setiap
empat hari sekali bisa dihasilkan 20.000 polibag untuk tanaman produktif
seperti cabai, tomat, timun, dan sebagainya,” kata Suprapedi.
Biaya pembuatan fermentor dengan tiga
tabung tidak lebih dari Rp 20 juta. Dengan tiga tabung fermentor,
berarti setiap empat hari sekali dapat dibuat tiga kali 20.000 polibag
untuk tanaman hortikultura semusim.
Sudiana sudah menguji pembandingan media tanam itu di rumah kaca di Cibinong. Ia pun menunjukkan hasil uji cobanya.
Terbukti tanaman mentimun dengan media
tanam tanah Merapi yang ditambah mikroba bisa menghasilkan buah lebih
cepat dibanding media tanam tanah Merapi tanpa ditambah mikroba.
Wakil Kepala LIPI Endang Sukara yang
pertama kali mendorong para periset LIPI agar berkontribusi nyata
terhadap fenomena yang sedang terjadi di Merapi. Teknologi pembiakan
mikroba Merapi sebetulnya pengembangan teknologi LIPI sebelumnya dalam
pembuatan pupuk organik diperkaya mikroba.
Setelah berhasil, LIPI memberi label
produksi pupuk organik itu ”Beyonic”, kependekan dari kata ”beyond
organic”, yaitu pupuk yang tidak sekadar berbahan organik, tetapi pupuk
organik mengandung pekerja-pekerja jasad renik, seperti kali ini dengan
pekerja mikroba Merapi.
(http://cetak.kompas.com/read/2011/02/11/04374911 /pembiakan..mikroba.tanah.merapi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar